Pesan Untuk Orangtua (dr Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI)
Bagi orangtua yang anaknya baru saja didiagnosis autisme, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Jika orangtua tidak faham apa itu autisme, mungkin diagnosis autisme tidak berpengaruh pada orangtua. Namun jika orangtua tahu atau kemudian tahu atau faham tentang autisme, maka akan terjadi suatu rangkaian reaksi yang disebut sebagai coping-mechanism yaitu sebagaimana yang umum terjadi pada seseorang dalam menghadapi/mengalami suatu kenyataan berat seperti misalnya saat seseorang diberitahu menderita kanker, atau saat seseorang kehilangan orang yang dicintainya, dan lain sebagainya.
Reaksi/respons yang pertama terjadi adalah awalnya orangtua akan syok, kaget, dan tidak percaya serta mempertanyakan diagnosis. Bisa jadi kemudian orangtua mencari second-opinion dari dokter yang lain, bahkan mungkin tidak cukup 1-2 dokter saja. Hal ini bisa menyebabkan tertundanya intervensi dini yang sangat dibutuhkan oleh anak autistik. Hal yang berbahaya ialah jika dalam perjalanan shopping dokter ini, kemudian bertemu dengan dokter yang tidak menguasai autisme tetapi dengan menyakinkan mengatakan bukan autisme, sehingga menyebabkan orangtua tidak lagi mencoba mencari tahu atau mendapatkan diagnosis.
Namun orangtua yang memperhatikan anaknya, kemudian akan menyadari bahwa anak autistiknya memang benar-benar berbeda dengan anak sepantarannya seumumnya, apakah itu dibandingkan dengan kakaknya waktu seumur anaknya yang sekarang, atau dibanding sepupu anaknya, atau dibanding anak teman atau tetangga. Yang pasti orangtua yang memperhatikan anaknya akan melihat perbedaan tersebut, dan atau menyadari bahwa anak autistiknya tidak juga mengalami kemampuan yang diharap-harapkan misalnya tidak juga anak berbicara, dan atau semakin jelas terlihat perilaku autistiknya. Jika kemudian orangtua melanjutkan lagi shopping dokter untuk mendapatkan diagnosis, dan kemudian mendapati dokter yang bisa menyakinkan atau bisa memberi diagnosis dengan yakin dan benar serta disertai dasar-dasarnya, maka mungkin rangkaian respons/reaksi berikutnya yaitu marah dan menyalahkan.
Pada rangkaian respons yang berikut ini orangtua akan marah terhadap berbagai hal dan menyalahkan segalanya. Mungkin marah dan menyalahkan diri sendiri, atau saling menyalahkan antara suami-istri atau terhadap orang lain. Bahkan mungkin marah kepada Tuhan yaitu kenapa diberi anak autistik, why me?!
Setelah terjadinya respons/reaksi marah dan menyalahkan, hal yang berikut yang terjadi yaitu penyangkalan (denial). Dalam tahap ini orangtua belum bisa menerima bahwa kenyataannyalah anak mereka autistik, sehingga bukannya berjuang (fight) untuk mengatasi autistik anak mereka, tetapi melakukan pelarian (flight) dari kenyataan berat/pahit ini yaitu dengan menyakinkan diri sendiri bukan autistik. Bahaya pada tahap ini adalah jika penyangkalan ini diperkuat oleh orang lain, baik itu dokter/profesional ataupun bukan yang menyatakan bahwa anaknya bukan autistik. Orangtua dapat tertahan/terperangkap di dalam fase penyangkalan ini, yang akhirnya tidak melakukan usaha-usaha apapun.
Jika fase penyangkalan (denial) dapat terlampaui, maka tahap berikutnya adalah fase bertanya-tanya yaitu orangtua mencari tahu, mencari lebih banyak lagi informasi tentang autisme dan diagnosis autisme. Yang akhirnya orangtua pasrah dan dapat menerima kenyataan yang sebenarnya. Beruntunglah orangtua yang bisa melalui fase-fase tersebut dan mencapai fase penerimaan/menerima (acceptance).
Perlu diketahui bahwa untuk masing-masing orang, tahap-tahap sampai dengan penerimaan ini berbeda-beda, baik berbeda dalam hal reaksi.respons yang keluar/tampak, maupun dalam lamanya masing-masing fase berlangsung. Ada orang yang bisa melalui seluruh fase ini dengan cepat sampai dengan ke fase penerimaan, namun ada pula yang melalui dengan lambat di satu dua fase ini ataupun seluruh fase ini. Ada juga orang yang tertahan/terperangkap dalam suatu fase, yaitu mungkin tidak percaya terus, mungkin marah terus, atau menyangkal terus, atau mungkin bertanya-tanya terus. Jika kita mengalami hal ini, maka sudah seharusnyalah terlebih dahulu kita yang mendapat terapi. Salah satu terapi yang berperan untuk penerimaan ini adalah terapi rohani, yaitu mendekatkan diri kepada Allah, sabar dan tawakal, serta harus yakin terhadap taqdir berupa qodar baik dan “buruk” yang sudah digariskan oleh Nya. Percayalah bahwa segala sesuatu yang berasal dari Allah pastilah baik, pastilah Allah mempunyai rencana mengapa kita dianugerahi anak autistik, dan rencana Allah pastilah baik. Tidak pernah rencana Allah jelek atau menzhalimi umatNya, karena boleh jadi yang tidak kita sukai/kehendaki sebenarnyalah baik bagi kita (sedangkan yang kita sukai/kehendaki sebenarnya tidak baik bagi kita). Minimal, bahwa kita diberi kepercayaan yang besar oleh Allah untuk mengurus dan menjaga seorang anak spesial ini. Jika kita diberi kepercayaan oleh atasan di tempat kerja kita saja bangga, diberi kepercayaan oleh seorang manusia saja kita berbangga, nah sudah seharusnyalah dan sepatutnyalah jika kita teramat sangat-sangat-sangat bangga diberi kepercayaan oleh Pencipta dan Penguasa seluruh alam semesta ini.
Penulis juga pernah mengalami hal ini, yaitu dianugerahi seorang putra yang autistik. Namun rupanya Allah mempunyai rencana baikNya sendiri. Yaitu, oleh karena penulis seorang dokter spesialis anak yang sudah terbiasa membaca berbagai text-book, jurnal, dan berbagai publikasi ilmiah, maka bagi penulis relatif mudah melahap pengetahuan tentang autisme ini dan terutama sekali dalam mempelajari serta menguasai metode ABA (Applied Behavior Analysis), yaitu suatu metode yang dasar-dasarnya sudah dikembangkan lebih dari 1 abad dan melalui banyak sekali penelitan, serta metode yang praktis, sistematis, terstruktur dan terukur, terlebih lagi sudah terbukti efektif dan efisien. Di samping ABA, juga Biomedical Intervention, yaitu pada tahun 2.000 penulis diminta oleh ibu Debby Sianturi yang adalah Ketua YPAI (Yayasan Peduli Autisme Indonesai) untuk menjadi Leader MD dalam mendampingi sekitar 20 orangtua selama persiapan serta selama sesi-sesi konsultasi dengan dokter Jeff Bradstreet, yaitu ahli dan praktisi Biomedical Intervention yang berkenan datang ke Indonesia. Sehingga akhirnya penanganan autisme di Indonesia terarah dalam jalur yang benar, yang bahkan tidak dialami./dinikmati oleh banyak negara lain, sehingga kemudian dengan ABA dan Biomedical Intervention Therapy (BIT) ini maka telah banyak penyandang autisme di Indonesia (dan Amerika) mencapai tingkat yang bisa dikatakan sembuh, yaitu suatu tingkat yang dulu dikatakan sebagai hal yang mustahil. Itulah rencana ALLAH, yaitu penulis dianugerahi anak autistik agar supaya menguasai penanganan autisme yang benar serta bisa menyebarluaskan untuk anak-anak/orangtua lain sehingga penanganan autisme di Indonesia berada dalam jalur yang benar, dengan hadiah bagi penulis yaitu Allah SWT menghadiahi kesembuhan kepada anak penulis, bahkan termasuk anak yang berprestasi.
Jadi, bagi orangtua, jangan membuang-buang waktu, tidak perlu lagi coba-coba metode lain yang tidak mempunyai dasar ilmiah, dan/atau belum ada penelitian yang membuktikan efektivitas dan efisiensinya. Saat ini sudah ada metode ABA yang (almost) perfect seperti yang dikemukakan pada baris-baris sebelumnya, di samping juga adanya Biomedical Intervention yang bukan merupakan ilmu baru dan bukan ilmu alternatif, tetapi merupakan ilmu kedokteran mainstreaming karena dasar-dasar ilmiahnya serta praktek-prakteknya adalah dari ilmu-ilmu kedokteran yang sudah ada. Seorang sahabat yang anak autistiknya sudah cukup besar pada tahun 2000 mengatakan kepada penulis bahwa “mungkin apa-apa yang kita rintis sekarang ini bukan untuk anak-anak kita, tetapi pastilah orang-orangtua dan anak-anak mereka sesudah generasi kita ini akan menikmati buah/hasil dari rintisan kita saat ini”.
Jadi, intinya pesan bagi orangtua yang anaknya didiagnosis autisme, adalah:
Jadi, untuk menghindari terjadinya hal tersebut, maka kita perlu meluangkan suatu waktu atau suatu hari untuk “berlibur”, Me-Day, hariku, hari khusus untuk diriku. Bisa saja itu sehari penuh atau kurang, namun intinya adalah break, istirahat, luangkan waktu untuk diri kita, tinggalkan sementara semua persoalan, semua kepusingan, semua kekacauan, semua kecemasan, semua gundah-gulana, dll.
Luangkan waktu sejenak untuk diri kita saja, bersenang-senanglah, hiburlah diri kita, agar supaya kita kembali segar, kembali di-charge, kembali semangat, kembali bergairah untuk kembali menangani anak spesial kita. Hal ini tidak identik dengan kita perlu mengeluarkan biaya yang besar, mungkin saja hanya sekedar duduk di pinggir pantai, mendengarkan debur ombak, sambil makan makanan kecil, menikmati minuman ringan, dan memandangi tenggelamnya matahari. Pokoknya suatu hal yang kita suka serta menyenangkan dan mungkin seperti yang dulu kadang/sering kita lakukan. Ini seperti halnya orang bekerja, kenapa harus ada libur mingguan (hari Minggu atau Sabtu dan Minggu), kenapa perlu cuti tahunan. Jawabannya adalah untuk refreshing, untuk recharge.
12 . Selain itu, hal yang penting juga adalah memperhatikan pasangan (suami/istri) kita. Statistik memperlihatkan bahwa angka perceraian lebih tinggi pada keluarga yang mempunyai anak autistik, dibandingkan dengan keluarga yang tidak mempunyai anak autistik. Di samping itu juga, perlu diperhatikan terjadinya sibling-rivalry (rivalitas saudara kandung), dimana terjadi kecemburuan pada anak yang non ABK, oleh karena perhatian kedua orangtuanya tercurah pada anak yang ABK.
Prof. Lovaas merupakan profesional pertama yang menerapkan ABA (Applied Behavior Analysis) untuk autisme. Dimulai pada tahun 1962, kemudian publikasi pertama pada tahun 1967, sehingga ABA untuk autisme dikenal juga sebagai Metode Lovaas.
Pada tahun 1993, Catherine Maurice menerbitkan bukunya yang berjudul Let Me Hear Your Voice, sehingga ABA terkenal ke seluruh dunia.
Dalam bukunya tersebut, Catherine Maurice menceriterakan tentang 2 anaknya yang autistik yang ditangani dengan ABA oleh Prof. Lovaas dan team, kemudian keduanya membaik sehingga tidak bisa dibedakan dengan anak lain.
Dokter Spesialis Anak yang menangani Autisme ini merupakan profesional yang langka, karena menguasai dua Terapi Utama Autisme yaitu ABA (Applied Behavior Analysis) dan Biomedical Intervention Therapy (BIT).
Kiprahnya diakui secara nasional maupun di lingkup internasional.
Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI, adalah profesional Indonesia pertama yang menyebarluaskan dan mempopulerkan ABA untuk autisme di Indonesia, sejak tahun 1997.
Mempelajari ABA dari berbagai sumber, antara lain:
› LIFE (Lovaas Institute For Early Intervention), Los Angeles, USA
› PennState University, Pennsylvania, USA
› The Option Institute, New York, USA
› ISADD (Integration Service For Autism And Development Delay), Perth, Australia
› dan lain-lain
"Hampir seluruh tujuan hidup saya sudah diwujudkan. Sekarang, keinginan saya lebih ke arah ibadah, antara lain dengan membagi ilmu yang saya punya"
Demikian pendirian Liza, yang merupakan tokoh penerus ABA (Applied Behavior Analysis) untuk autisme di Indonesia.
Liza merupakan penggagas backToABA, yaitu setelah beberapa lama mengamati dan mempelajari bahwa sampai saat ini hanya ABA-lah satu-satunya metode yang telah teruji melalui berbagai penelitian ternyata terbukti efektif dan efisien untuk mengajar dan melatih anak-anak autistik (autisme).
Namun beberapa tahun setelah dokter Rudy tidak dapat aktif, penggunaan ABA yang betul dan benar mulai terkikis, oleh karena itu Liza menggagas "Kembali Ke ABA" (Back To ABA)
Liza telah memberikan pelatihan ABA ke berbagai kota di seluruh Indonesia.
Pendapatnya tentang berbagai jenis terapi lainnya yang ada di Indonesia, Liza dengan tegas mengatakan "silahkan tunjukkan hasil penelitian metode tersebut untuk anak-anak autistik" (yang ternyata tak ada).