[ RINGKASAN 04 DARI 17 – BIOMEDICAL INTERVENTION THERAPY]
GLUTEN-FREE, CASEIN-FREE DIET( DAN SERING JUGA CORN-FREE, SOY-FREE )
Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI
(Dokter Spesialis Anak. Konsultan Autisme, Applied Behavior Analysis, dan Biomedical Intervention Therapy)
DASAR :
Sistem pencernaan manusia tidak beradaptasi terhadap diet yang mengandung sejumlah besar gandum dan susu serta produknya. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang minum susu saat dewasa, dan satu-satunya mahluk yang minum susu dari mahluk lainnya. Susu sapi adalah makanan yang sempurna untuk bayi sapi, tetapi tidak untuk manusia.
Setelah lebih dari beberapa ratus tahun terakhir, gandum yang ditanam telah terjadi peningkatan pada kadar glutennya, dan diet orang Amerika umumnya mengandung jumlah gandum yang jauh lebih tinggi dibanding yang dimakan lebih dari 1.000-10.000 tahun yang lalu.
Gluten (dalam wheat, rye, barley, dan mungkin juga oats) dan casein (dalam semua produk susu) dapat menyebabkan dua masalah :
Masalah-masalah tersebut tampaknya disebabkan oleh :
KETERANGAN TERAPI :
- Secara total 100% tidak mengkonsumsi / menghindari semua produk gluten dan semua produk susu. Walaupun sejumlah sedikit, seperti misalnya segigit cookie, dapat menyebabkan masalah-masalah alergis dan/atau opioid. Banyak makanan yang sedikit “tercemar” oleh gluten, seperti misalnya French fries dan kismis dimana tepung terigu digunakan untuk mencegah mereka lengket satu sama lain, sehingga cukup sulit untuk menghindari makanan-makanan tersebut dan yang “tercemar”.
- Enzim-enzim pencernaan mungkin dapat menolong, tertutama jika terjadi paparan tidak sengaja, tetapi daya bantunya tidak sebesar penghindaran dari casein dan gluten.
- Banyak anak dengan autisme juga memperoleh manfaat dari penghindaran produk-produk jagung dan/atau kedelai.
MANFAAT :
Anak-anak yang sangat doyan dengan produk-produk susu dan terigu, adalah yang biasanya paling menampakkan manfaat. Casein-free diet umumnya terlihat manfaatnyaa dalam sebulan, dan kadang dalam seminggu. Gluten-free diet umumnya perlu 1-3 bulan sebelum menampakkah hasil. Pada beberapa anak bisa terjadi perburukan dalam beberapa hari pertama (serupa dengan gejala putus obat) kemudian diikuti dengan perbaikan.
Efektivitas terapi berdasar penilaian oleh orangtua (Parent Rating) :
Gluten-free dan Casein-free diet (dari 1.446 laporan) : 3% memburuk, 32% tidak ada perubahan, 65% membaik.
Casein-free diet (dari 5.574 laporan) : 2% memburuk, 49% tidak ada perubahan, 49% membaik.
Wheat-free diet (dari 3.159 laporan) : 2% memburuk, 50% tidak ada perubahan, 48% membaik.
Jangka Waktu :
Paling tidak sampai masalah-masalah di usus teratasi, dan mungkin saja seumur hidup.
Catatan Keamanan :
Penting untuk memberikan suplementasi kalsium pada dairy-free diet, kecuali jika anak diyakini mendapat nutrisi yang kaya kalsium.
Testing :
Tersedia tes-tes untuk alergi terhadap wheat dan dairy. Walau demikian, tes alergi yang negatif tidak berarti dairy dan wheat aman, karena mereka juga dapat menimbulkan masalah sehubungan dengan aksi opioidnya. Mencoba untuk menghindarkan makan-makanan tersebut adalah tes yang terbaik.
PENELITIAN :
Reichelt pada beberapa penelitiannya menemukan peptida-peptida abnormal di urin penyandang autisme. Dan pada penelitian-penelitian jangka panjangnya menemukan perbaikan bermakna pada GF/CF diet.
Penelitan Cade menemukan manfaat penggunaan jangka panjang enzim-enzim pencernaan, tetapi GFCF diet jauh lebih bermanfaat.
Penelitian Cade pada 150 anak penyandang autisme menemukan bahwa 87% memiliki antibodi IgG terhadap gluten (alergi), dan hanya 1% pada kontrol yang usia dan kelaminnya sesuai. Dan 90% memiliki IgG terhadap casein, dibanding 7% kontrol. Ia juga meneliti 79 anak penyandang autisme yang mengikut GFCF diet selama 1-8 tahun, dan menemukan bahwa 81% tampak membaik dalam 3 bulan pertama, dan perbaikan berlanjung selama 12 bulan berikutnya.
Perbaikan nyata terlihat pada masalah sosial, kontak mata, bicara, kemampuan belajar, hiperaktif, aktifitas stereotipik, dan serangan panik.
Di antara 19% yang tidak membaik, sekitar sepertiganya tidak mengikuti petunjuk GFCF diet, dan masih tetap terdapat banyak peptida gluten dan casein dalam darah mereka.
Penelitian-penelitian tersebut adalah :
Cade R, Privette M et al. "Autism and Schizophrenia: Intestinal Disorders" Nutr. Neurosci 3 (2000) 57-72. Published by Overseas Publishers Association, (OPA) N.V.
Reichelt et al., Biologically active peptide-containing fractions in schizophrenia and childhood autism. Adv Biochem Psychopharmacol. 1981;28:627-43. Review.
Knivsberg AM, Reichelt KL, Nodland M. Reports on dietary intervention in autistic disorders. Nutr Neurosci. 2001;4(1):25-37. Review.
Single-blind study of 10 children with autism found that 8 benefitted from a GFCF diet. Knivsberg AM, Reichelt KL, Hoien T, Nodland M. A randomised, controlled study of dietary intervention in autistic syndromes. Nutr Neurosci. 2002 Sep;5(4):251-61.
A 12-week, double-blind, cross-over study of a GFCF diet in 15 children with autism did not find significant benefits, but parents reported benefits that were not identified by the testing. Elder et al, The gluten-free, casein-free diet in autism: results of a preliminary double blind clinical trial. J Autism Dev Disord. 2006 413-420.
Diet-diet yang lain :
Beberapa jenis diet saat ini sedang dalam penelitian. Satu alternatif diet adalah SCD (Specific Carbohydrate Diet), yang meliputi penghindaran semua karbohidrat dan gula (kecuali monosakarida di buah). Untuk informasi lebih lanjut tentang diet ini, dapat dilihat pada www.pecanbread.com
Untuk informasi lebih lanjut, bisa dilihat di Autism Network for Dietary Intervention ( www.autismndi.com )
Prof. Lovaas merupakan profesional pertama yang menerapkan ABA (Applied Behavior Analysis) untuk autisme. Dimulai pada tahun 1962, kemudian publikasi pertama pada tahun 1967, sehingga ABA untuk autisme dikenal juga sebagai Metode Lovaas.
Pada tahun 1993, Catherine Maurice menerbitkan bukunya yang berjudul Let Me Hear Your Voice, sehingga ABA terkenal ke seluruh dunia.
Dalam bukunya tersebut, Catherine Maurice menceriterakan tentang 2 anaknya yang autistik yang ditangani dengan ABA oleh Prof. Lovaas dan team, kemudian keduanya membaik sehingga tidak bisa dibedakan dengan anak lain.
Dokter Spesialis Anak yang menangani Autisme ini merupakan profesional yang langka, karena menguasai dua Terapi Utama Autisme yaitu ABA (Applied Behavior Analysis) dan Biomedical Intervention Therapy (BIT).
Kiprahnya diakui secara nasional maupun di lingkup internasional.
Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI, adalah profesional Indonesia pertama yang menyebarluaskan dan mempopulerkan ABA untuk autisme di Indonesia, sejak tahun 1997.
Mempelajari ABA dari berbagai sumber, antara lain:
› LIFE (Lovaas Institute For Early Intervention), Los Angeles, USA
› PennState University, Pennsylvania, USA
› The Option Institute, New York, USA
› ISADD (Integration Service For Autism And Development Delay), Perth, Australia
› dan lain-lain
"Hampir seluruh tujuan hidup saya sudah diwujudkan. Sekarang, keinginan saya lebih ke arah ibadah, antara lain dengan membagi ilmu yang saya punya"
Demikian pendirian Liza, yang merupakan tokoh penerus ABA (Applied Behavior Analysis) untuk autisme di Indonesia.
Liza merupakan penggagas backToABA, yaitu setelah beberapa lama mengamati dan mempelajari bahwa sampai saat ini hanya ABA-lah satu-satunya metode yang telah teruji melalui berbagai penelitian ternyata terbukti efektif dan efisien untuk mengajar dan melatih anak-anak autistik (autisme).
Namun beberapa tahun setelah dokter Rudy tidak dapat aktif, penggunaan ABA yang betul dan benar mulai terkikis, oleh karena itu Liza menggagas "Kembali Ke ABA" (Back To ABA)
Liza telah memberikan pelatihan ABA ke berbagai kota di seluruh Indonesia.
Pendapatnya tentang berbagai jenis terapi lainnya yang ada di Indonesia, Liza dengan tegas mengatakan "silahkan tunjukkan hasil penelitian metode tersebut untuk anak-anak autistik" (yang ternyata tak ada).